Cianten dan Semua Hal Yang Bikin Kangen
Cianten. Sebuah nama yang dulu begitu asing di telingaku, hingga awal tahun 2019 menjadi saksi pertama kalinya aku menjejakkan kaki di sana. Kala itu, aku bersama teman-teman SMA mengikuti kegiatan bakti sosial. Sebuah perjalanan sederhana yang ternyata menjadi gerbang menuju cinta yang tak pernah usai.
Kami tiba di Cianten, sebuah hamparan hijau yang membentang, dikelilingi perbukitan teh yang memeluk kami dengan sejuknya. Udara yang segar menyusup ke dalam dada, membawa aroma dedaunan yang basah oleh embun pagi. Sungai Cianten mengalir tenang, seperti aliran kenangan yang menggema dalam hati.
Di sana, kami menginap selama tiga hari dua malam. Setiap pagi disambut dengan kabut yang perlahan tersingkap, menguak pemandangan bukit-bukit teh yang tertata rapi, seolah berbaris menanti cerita baru. Kami membersihkan sekolah, mengecat ulang dindingnya, dan mengajar anak-anak dengan penuh semangat. Tawa mereka, canda mereka, seakan menjadi nyawa yang menghidupkan ruang kelas yang sederhana itu.
Aku masih ingat, saat pertama kali mereka ditanya tentang cita-cita, ada yang malu-malu menyebutkan profesi dokter, ada pula yang lantang ingin menjadi guru. Melihat mereka dengan mata berbinar, aku teringat pada diriku sendiri—pada masa kecil yang penuh kebingungan tentang masa depan. Perjalanan ini membuatku berpikir, mungkin aku baru menemukan mimpiku justru saat menginspirasi mereka.
Puncaknya adalah saat kami berburu sunrise di taman lapang. Sayangnya, mentari tak muncul, tertutup mendung yang enggan menyingkir. Tapi kami tetap tertawa, saling menghangatkan dengan cerita dan canda. Mungkin, seperti itu juga kehidupan—tidak semua harapan muncul tepat waktu, tapi kebersamaanlah yang membuat kita tetap hangat.
Aku kembali ke Cianten beberapa tahun kemudian, dalam program SI MOBA dari Dompet Dhuafa Pendidikan. Kali ini, kami menggelar lapak baca, memainkan game edukatif, dan mengadakan pertunjukan bakat. Anak-anak begitu antusias—terutama saat kami memutar film buatan pemuda lokal. Mereka bertepuk tangan, tersenyum lebar, seolah tak ada beban dalam dunia mereka.
Kembali ke Cianten tak pernah terasa membosankan. Seperti saat aku datang lagi dalam program pembuatan video profil SI MOBA. Meskipun hanya satu hari, tapi melihat anak-anak yang masih ingat padaku membuatku tersenyum. Mereka bercerita tentang buku yang dibaca, tentang mimpi yang perlahan mereka susun. Aku terharu, dan lagi-lagi, Cianten membuatku jatuh cinta.
Dan terakhir, pada Hari Pendidikan Nasional 2025, aku kembali sebagai relawan Kelas Inspirasi. Aku berbagi pengalaman sebagai content creator, memotivasi mereka untuk berani bermimpi dan menciptakan karya. Bersama mereka di Kelas Literasi Kreatif, aku membantu menulis dan menggambarkan cita-cita. Selembar kertas sederhana berubah menjadi peta harapan mereka.
Kenapa Cianten begitu spesial bagiku? Karena tempat ini tak pernah gagal mengingatkanku pada arti berbagi, pada pentingnya menyemai mimpi di tanah yang mungkin luput dari pandangan banyak orang. Cianten punya seribu satu cara membuatku rindu, bukan hanya karena keindahannya, tapi karena kenangan yang selalu hidup, seperti aliran sungainya yang tak pernah mengering.