Jika Kita Jujur
Malam sudah semakin larut, bahan obrolanpun nyaris habis, tapi kita masih enggan untuk beranjak pergi. Malam ini aku mengajak Winda pergi ke kedai kopi yang baru beberapa hari buka. Aku dan Winda memang kerap berpergian ke suatu tempat yang baru, entah apapun itu. Suasana yang baru selalu dapat membawa pengalaman yang menyenangkan begitu kata Winda, meskipun tidak semuanya. Tapi kami juga tetap memiliki tempat favorit yang kerap kali kami kunjungi ketika tidak tahu harus menuju kemana.
Karena sudah semakin larut aku mengajak Winda untuk pulang. Mengingat, kos di mana dia tinggal memiliki jam malam yang tegas harus dipatuhi semua penghuni. Di sepanjang jalan pulang, Winda cenderung diam. Tak seperti biasanya yang cerewet mengomentari suasana, interior, hingga aroma kopi yang baru kami cicip, ia diam seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Aku mencoba memecah keheningan ini dengan bertanya banyak hal, namun ia tetap diam, hanya sesekali menjawab. Aku berpikir keras, adakah dari tingkah laku ku malam ini yang membuatnya tidak enak? Tak lama kemudian kita sampai di depan kostsanya. Sebelum pergi ke kamarnya dia bertanya?
“Haidar, kita ini apa sih?”
Aku mendengar sayup-sayup perkataan Winda, memang karena yang ia katakan tidak terlalu keras, sambil membuka helm aku menegaskan kembali.
“Hah, gimana Win, ngomong apa tadi?”
“Gak, ini helmnya, aku mau langsung istirahat ya, capek banget”
Akhirnya sepanjang jalan pulang aku terus memikirkan apa yang dikatakan Winda.
#
Aku mengenal Winda secara tak sengaja. Di halte bus, saat kami menunggu kendaraan menuju arah yang hampir sama. Kami duduk berdampingan di dalam bus, dan aku, yang biasanya malas memulai obrolan, tiba-tiba merasa ingin tahu siapa perempuan ini. Percakapan kecil kami meluas, seolah ada dunia yang ingin ditumpahkan. Dari obrolan tersebut ada sebuah hal yang menarik bahwa ternyata kita memiliki kesamaan dibeberapa hal. Seperti kita yang ternyata se kampus dan ngekost di wilayah yang sama. Namun, hal yang paling menarik adalah kita sama-sama suka berjalan-jalan dan mencoba sesuatu yang baru. Obrolan pun terus berlanjut, hingga pertanyaan yang entah kenapa pada saat itu aku pertanyakan.
“Cita-cita kamu itu apa sih?” tanyaku, dan dia berhenti sebentar kemudian menarik napas dan menjawab.
“Entah kenapa aku pengen banget tinggal di luar negeri, di Eropa lah.”
“Waw, ko bisa sampe pengen ke sana”
“Ya, gak tau sih tapi kaya pengen aja, bosen gak sih dari kecil tinggal di kota kecil kaya gini. Aku tuh ya, sampe beberapa kali mimpi lagi jalan-jalan di Eropa gitu.”
“Wah, kalo sampe mimpi gitu berarti serius banget nih kayaknya pengen ke sana?”
“Makanya itu, tapi kayaknya gak bisa deh.”
“Lho kenapa emang?”
“Ya, aku kan tinggal di kota kecil ini, di desa yang kayaknya susah banget buat maju. Terus kayaknya juga gak akan diizinin sama orang tua aku.”
“Emm, iya sih kalo udah ngomongin keluarga itu udah berat ya.”
“Iya, eh kalo kamu impianya apa nanti.”
“Kalo aku sih pengen banget bisa keliling Indonesia, lebih pengen lagi keliling dunia malah. Nyobain makanan dari berbagai negara, mengenal budaya-budaya dari negara lain, mendengar bahasa-bahasa baru. Pengenya sih no maden gitu kaya misalnya sebulan di sini, sebulan kemudian dimana lagi gitu. Tapi kan, bener kata kamu, emang susah juga apalagi kalo ngomogin keluarga, apa bakal setuju aku hidup kek gitu.”
“Ya, begitulah hidup.” Ucap Winda yang diakhiri dengan tarikan napas yang panjang.
Tak lama kemudian Winda bersiap turun karena sebentar lagi tujuanya sampai. Sementara itu aku masih harus melanjutkan perjalanan ku.
#
Setelah pertemuan pertama itu, kita semakin sering bejumpa. Aku semakin tahu banyak tentang Winda dan kegiatan kesehariannya. Salah satu hal yang ia senangi ialah mengajar, ia mengajar di salah satu bimbel yang tak jauh dari kostnya. Di sana ia fokus mengajar siswa-siswi sekolah dasar karena kecintaanya pada anak-anak.
Semakin sering bertemu denganya, sebenarnya muncul perasaan suka kepadanya. Namun, aku tak ingin terburu-buru menyatakanya. Kita sama-sama memiliki mimpi yang besar yang masih harus kita capai.
Hingga malam itu tiba. Malam dimana ketika aku mengantar Winda pulang, ia seperti bertanya sesuatu tentang hubungan kita. Meski aku tidak mendengar jelas, sebenarnya kita sama-sama tahu dari arah obrolan kita pada malam itu. Jika pada malam itu kamu benar-benar bertanya tentang hubungan kita. Aku akan menjawab “sebenarnya aku mencintaimu, namun aku belum mampu untuk mengikat perasaan ini aku masih ingin pergi ke berbagai tempat, seperti yang sering ku ceritakan. Aku harap kamu dapat mengerti karena aku tidak ingin saat dalam perjalananku aku malah sibuk merindukanmu.”
#
Hari ini tidak ada kuliah, hanya ada tugas-tugas yang diberikan sebagai pengganti kelas. Aku memutuskan untuk mengerjakan tugas ini di kedai kopi langganan yang tak jauh dari kostan. Sesampainya di sana, aku memesan hot americano dan duduk di sudut favorit kedai kopi ini. Beberapa waktu kemudian aku mulai mengerjakan tugas, lalu kopi pesananku datang. Saat aku sedang menyeruput kopi tersebut tiba-tiba ada yang datang menghampiriku. Saat ku lihat ternyata ia adalah Ardi teman SMA ku.
Ardi merupakan teman baikku saat SMA. Ia merupakan ketua OSIS dan aku sebagai wakilnya. Ia merupakan orang ter pintar, ambisius dan baik yang pernah aku kenal. Kami memang kuliah di kampus yang sama, namun berbeda fakultas. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu lantaran Ardi yang memang sibuk dengan urusan organisasi kampus dan aku yang kerap berpergian kesana-kemari. Ardi beberapa kali menawarkan untuk bergabung ke berbagai organisasi bahkan ia memintaku untuk kembali menjadi wakilnya. Namun, aku selalu menolak karena hobi dan kegemaranku yang ditakutkan akan menghambat kegiatan tersebut dan baiknya Ardi dapat mengerti itu semua.
Kehadiran Ardi di kedai kopi ini karena akan diadakan pertemuan organisasi. Sudah hal biasa jika banyak yang berdiskusi di kedai ini. Karena letaknya yang memang tak jauh dari kampus dan kost-kostan. Ardi sengaja datang lebih awal karena dia kebagian yang mempersiapkan pertemuan kali ini. Sebelum acara tersebut dimulai kami kembali berbincang tentang kesibukan kali ini. Lalu, Ardi bertanya suatu hal yang membuatku sedikit terkejut.
“Lu deket sama si Winda ya dar?”
Mendengar pertanyaan tersebut aku cukup terkejut dari mana ia tahu tentang Winda, padahal setauku mereka berbeda fakultas.
“Lumayan, tapi lu tau Winda dari mana?” aku kembali bertanya.
“Di bimbel, soalnya waktu itu gua liat lu jemput si Winda dari tempat bimbel.”
“Oh, kenapa gak manggil aja.”
“Waktu itu gua masih ngajar dan lu keburu cabut juga.”
“Oh, sejak kapan lu ngajar di situ, ko baru tau gua?
“Baru sih, soalnya waktu itu gua dapet kabar kalo bimbel itu lagi butuh tenaga pengajar, ya gua daftar dan alhamdulilahnya keterima.”
Waktu itu Winda memang mengabari kalau di tempat bimbelnya sedang membuka pendaftaran untuk tenaga pengajar yang baru. Winda sempat menawariku untuk bergabung namun, aku menolak karena akupun sedang banyak kegiatan saat itu.
Lalu, Ardi kembali bertanya tentang hubunganku dengan Winda. Aku menjawab bahwa hubunganku dengan dia masih hanya sebatas teman. Karena kami memiliki hobi dan kegemaran yang sama, kebetulan kostan kita tidak jauh, jadi kami sering pulang atau pergi bersama karena memang se-arah.
Setelah penjelasanku tersebut Ardi kembali bertanya tentang hal-hal lain, begitupun dengan ku. Tak lama kemduian teman-teman organisasi Ardi hadir. Kemudian ia pamit dan segara bergabung bersama teman-temanya dan memulai diskusi mereka.
Beberapa jam kemudian, tugasku pun rampung bersamaan dengan rampungnya diskusi Ardi dan kawan-kawanya. Tiba-tiba Ardi memanggilku untuk bergabung ke meja diskusinya. Ardi mengatakan bahwa organisasinya akan mengadakan kegiatan bakti sosial di pelososk daerah dan mereka memerlukan seseorang yang berpengalaman menangani kegiatan ini. Ardi mengajakku karena ternyata ia tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut lantaran ia juga memiliki kegiatan lain yang jauh lebih penting. Karena Ardi yang meminta aku jadi perlu berpikir panjang untuk menolak ajakkanya kali ini. Selain itu, kegiatan ini pasti akan sangat menyenangkan jika benar-benar digarap dengan baik. Aku bertanya, kapan acara ini akan dilakukan? Mereka menjelaskan acara ini akan dilakukan pada bulan depan tepat saat libur semester jadi tidak akan mengganggu perkuliahan. Lalu, aku melihat jadwalku dan ternyata tidak ada kegiatan penting pada waktu-waktu tersebut. Akhirnya, aku mengiyakan ajakan mereka dan mulai mengikuti diskusi-diskusi mereka tentang kegiatan ini.
#
Hari-hari berikutnya diskusi pun berlanjut, karena waktu menuju acara semakin dekat diskusi memakan waktu yang cukup lama setiap sesinya kadang hingga larut malam. Ditengah diskusi berlangsung Winda mengabari lewat chat meminta tolong untuk dijemput, seperti biasa. Namun, karena diskusi sedang berlangsung dan tidak mungkin untuk ditinggal akhirnya aku meminta maaf kepada Winda karena kali ini aku tidak bisa menjemputnya pulang karena alasan diskusi tersebut. Kemudian Winda pun memaklumi dan katanya akan pulang dengan ojek online. Beberapa saat kemudian diskusi kali ini pun selesai kami berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya di kosan aku bertanya kepada Winda.
“Win, tadi jadi pulang pake apa?” Tanyaku.
“Oh iya, tadi aku dianterin sama si Ardi jadinya, eh katanya dia temen kamu ya”
Aku lupa kalau ternyata Ardi juga mengajar di tempat bimbel yang sama dengan Winda. Ingin ku bertanya lebih jauh tentangnya dan Ardi, namun aku seudah terlanjur lelah begitupun dengannya.
“Oh, baguslah jadi kamu ada yang nganterin. Yaudah kalo gitu aku mau istirahat dulu.”
“Eh, tapi kamu belum jawab tentang si Ardi ko gak pernah cerita kalo kamu temen dia…”
Belum selesai Winda bertanya aku langsung matikan hp ku karena sudah lelah dan belum mau membahas perihal pertanyaannya tadi.
#
Hari ini hari minggu aku mengajak Winda pergi ke suatu air terjun yang ada di kabupaten, perjalanan sekitar 30 menit dari kosan. Aku tidak banyak berbicara saat diperjalanan karena aku ingin banyak berbincang ketika sampai di air terjun tersebut. Sesampainya di sana aku langsung mengajak Winda ke spot favorite ku yaitu semacam balkon yang langsung menghadap ke air terjun. Di balkon ini kita bisa duduk menikmati pemandangan langsung air terjun sambil menikmati semilir angin dan suara air terjun yang menyejukkan. Setelah kami mencari posisi yang nyaman aku langsung bertanya kepada kepada Winda.
“Kemarin dianter sama si Ardi ya.”
“Iya, eh kamu beneran temenya Ardi.”
“Iya, dulu waktu SMA dia ketua OSIS aku wakilnya.”
Kemudian aku menceritakan sedikit tentang pertemanan kami. Lalu aku bertanya kepada Winda.
“Sering dianter sama si Ardi.”
“Gak ko, kemarin baru pertama kali soalnya jadwal ngajar kita hari itu kebetulan sama. Kan dia juga masih baru di bimbel itu.”
“Oh, gitu”
“Kenapa, kamu cemburu ya”.
“Dih, ngapain cemburu lagian dia juga temen deket ku.”
Lalu, obrolan kami pun berlanjut. Membicarakan banyak hal, membeli minum dan cemilan, lalu mengobrol lagi. Karena dirasa sudah cukup lama dan sudah lumayan pegel juga akhirnya kami bersiap untuk pulang. Namun, sebelum pulang Winda mengajak makan mie ayam kesukaanya. Lalu kami pun segera pergi dan menuju ke tempat favoritenya.
Sesampianya di sana ia langsung memesan mie ayam lengkap dengan bakso, pangsit dan juga cekernya. Berbeda denganku, aku tidak begitu suka dengan ceker jadi ketika aku memesan porsi komplit, aku memberikan jatah ceker ku kepadanya. Tentu dia menerima dengan senang hati. “Kamu tuh aneh, masa gak suka ceker.” Ucap dia saat pertama kali kita makan mie ayam di tempat ini. Setelah makanan datang kami pun segeram menyantap mie ayam tersebut dengan lahap hingga tak terasa tiba-tiba mie ayam kita sudah ludes dan hanya menyisakan minyak dan kuah.
Setelah itu, kami pun membayar makanan kami dan bergegas pulang. Dalam perjalanan aku mengabari Winda bahwa minggu depan aku tidak akan bisa mengantarnya seperti biasa karena aku ada kegiatan di desa.
“Loh, ko kamu gak cerita sih, kenapa tiba-tiba?”
“Ya, sebenernya juga aku gak mau. Cuma yang nawarinnya si Ardi itu dan kebetulannya ternyata acaranya seru gitu. Kamu kan tau aku suka sama acara-yang kaya gitu.”
“Iya, aku tahu tapi kan setidaknya cerita dulu”
“Terus gimana, masa mau ku batalin, senin besok banget loh acaranya.”
“Tau ah.” Ucap Winda sambil merengut kesal.
Sesampainya di kosan Winda, aku pun meminta maaf tentang aku yang mendadak mengabari tentang kegiatan seminggu kedepan. Tanpa menjawab maaf ku, dia pun langsung pergi menuju kamarnya.
#
Hari itupun datang, kami berkumpul terlebih dahulu di kampus untuk koordinasi dan kembali menyiapkan banyak hal memastikan agar tidak ada hal-hal yang terlupakan.
Sesampainya di desa tersebut kita pun langsung berkoordinasi dan memulai kegiatan tersebut. Kami mendatangi para petinggi desa untuk meminta izin kembali mengadakan kegiatan di desa ini. Alhamdulilahnya kami disambut dengan sangat baik. Lalu acara selanjutnya pun berjalan begitu lancar.
Lanjut kepada hari-hari selanjutnya, acara masih berjalan dengan lancar sampai pada suatu saat aku tiba-tiba malah memikirkan bagaimana keadaan Winda di sana. Ada rasa khawatir karena mungkin yang akan mengantarnya adalah si Ardi kembali. Aku takut muncul rasa di antara mereka, aku sangat mengenal Ardi begitupun dengan Winda sepertinya mereka memang sangat cocok tapi, ada perasaan dalam hati ku yang tidak ingin itu terjadi. Tapi siapa aku bisa menghalangi mereka berdua. Ditengah-tengah lamunanku aku dikejutkan oleh salah satu panitia yang bertnya tentang sesuatu.
“Mas, ini souvenir buat kepala desa dan yang lainya ditaruh di mana ya?”
“Oh iya, taruh di rumah yang ada ruangan panitianya dulu aja, ntar sisanya biar gua yang ngurus.”
“Ok, siap mas.”
Tak terasa kami pun telah sampai dipenghujung acara. Alhamdulilahnya semua acara berjalan lancar, meskipun ada beberapa hambatan tapi karena koordinasi yang baik kami pun bisa menyelesaikanya. Kamipun berpamitan kepada kepala desa dan yang lainya serta berterima kasih untuk acara yang berjalan dengan baik ini. Kemudian kamipun pergi kembali ke kampus dan pulang ke asalnya masing-masing.
Keesokan harinya seperti biasa yaitu acara pembubaran panitia kegiatan kemarin, karena masih lelah aku tidak mengikuti semua kegiatan hanya melihat keseruan seluruh panitia. Tak disangka Ardi datang karena memang semua panitia tersebut adalah temanya. Ia menghampiriku yang memang sedang menepi dari kegiatan tersebut. Lalau ia bertanya tentang suatu hal yang membuat ku cukup kesal sekaligus berpikir kenapa ia menanyakan itu.
“Dar, lu beneran gak ada apa-apa kan sama si Winda?”
“Kan, gua udah bilang gua sama Winda Cuma temenan, kenapa lo nanya gitu suka lu sama dia, tembak aja setau gua belum ada cowok yang deketin dia.” Ucap ku yang hanya bercanda dan kesal karena berkali-kali dia bertanya seperti itu.
“Oh, gitu. Lu gak ikut anak-anak seru-seruan tuh.”
“Gak ah, gua masih capek.”
“Oh, ok.”
Lalu Ardi pun pergi dan bergabung ke acara tersebut. Kemudian saat acara selesai akupun langsung bergegas pulang ke kosan. Sepertinya aku tidak enak badan, mungkin kelelahan jadi aku memutuskan untuk beberapa hari kedepan tidak akan kemana-mana. Beristirahat saja di kosan.
#
Beberapa hari setelahnya Winda mengabari, katanya dia ingin bertemu. Mungkin dia rindu karena kurang lebih seminggu ini belum bertemu dengan ku. Aku menawari berbagai tempat, namun dia memilih kedai kopi dekat kosan tempat pertama kali kita pergi berdua. Hari ini memang aku belum sembuh betul. Namun, karena Winda yang mengajak mau tidak mau aku harus mengikutinya. Kemudian aku bersiap-siap dan langsung menuju kostanya. Sampai di kostannya, ia tak banyak berbicara, dia meminta untuk segera menuju ke kedai kopi tersebut. Perasaan ku sudah tidak enak, apakah ini masih ada hubunganya karena kegiatan kemarin atau karena pertanyaanya terdahulu. Entahlah aku juga bingung. Lalu, kamipun langsung bergegas pergi ke kedai kopi tersebut. Sesampainya di sana, aku memesan americano dan Winda memesan red velvet favoritenya. Entah kenapa suasana menjadi canggung persis seperti kita pertama kali bertemu. Kemudian untuk memecah kecanggungan yang aneh ini aku bertanya.
“Gimana kabar kamu, setelah seminggu gak ketemu aku?” tanyaku mencoba bertanya dengan sedikit candaan. Tapi alih-alih menjawab pertanyaanku dia malah bertanya balik dengan pertanyaan yang membuat ku semakin bingung.
“Dar, aku mau nanya sesuatu, tapi kamu jangan kaget ya.”
“Dih, apaan si tanya aja kali.”
“Kalo ada yang nembak aku gimana?”
“Bagus dong, aku gak perlu jadi tukang ojek kamu lagi.” Jawab ku dengan candaan agar suasana canggung ini semakin mencair.
“Emang siapa si, cowoknya?” tanya ku
“Ardi Dar, dia kemarin nembak aku.” Duarrrr, dan suasana pun benar-benar menjadi hening.
Dalam keheningan yang sesaat tersebut datanglah pelayan membawa pesanan minuman kami. Lalu aku pun memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut tentang Ardi yang menembak Winda.
“Terus, kamu terima gak Win?”
“Belum Dar.”
“Ko belum, emang kenapa Win.”
Kemudian Winda menjelaskan tentang hubunganya dengan Ardi, jadi selama seminggu kemarin yang mengantar Winda adalah Ardi. Mulai dari situ mereka saling mengenal, beberapa kali menyempatkan nongkrong ke beberapa tempat sepulang mengajar dan puncaknya malam kemarin Ardi menembak Winda.
“Aku belum siap Dar, kayak cepet banget tiba-tiba dia nembak aku. Aku gak langsung jawab karena aku pengen lebih tahu tentang dia lebih banyak dan orang yang tahu banyak ya cuma kamu temen deketnya. Jadi aku mau nanya sama kamu, sebaiknya gimana aku tolak atau aku terima, kalo aku terima coba jelasin ke aku lebih jauh tentang dia dan kenapa aku harus terima dia.”
Mendengar perkataan Winda tadi, aku terdiam beberapa saat, jadi ini alasan Ardi kenapa dia bertanya berkali-kali tentang hubunganku dengan Winda, padahal saat terakhir kali dia bertanya, lalu kusarankan untuk menembaknya aku hanya bercanda karena kesal ia menanyakan hal yang sama berulang kali.
Lalu aku menjelaskan kepada Winda hal-hal yang belum ia tahu tentang Ardi yang belum diceritakan sebelumnya. Lalu aku memberinya kesimpulan yang entah kenapa lumayan menyakitkan untukku.
“Jadi, menurutku kamu terima aja si Ardi.” Kataku dengan berat hati.
“Tapi aku sukanya sama kamu Haidar.”
Mendengar jawaban tersebut, aku cukup kaget. Ingin aku menangis rasanya mengetahui kenyataan bahwa ternyata Winda mencintaiku juga. Tapi kutahan, tiba-tiba Winda mengeluarkan air mata dan menangis. Aku berusaha menguatkanya dengan merangkulnya dan memeluknya membiarkan ia menangis di pelukanku. Aku menenangkanya sebisa mungkin lalu menjelaskan dan meminta maaf kalau kita sepertinya tidak bisa menjadi kekasih. Karena aku yang belum siap untuk menjalin sebuah hubungan takutnya karena aku belum siap hubungan ini malah jadi berantakan.
“Kenapa kamu ribet banget si, kenapa hubungan kita gak pernah bisa bersatu, gak kaya orang-orang. Gak kaya Ardi yang langsung nembak aku. Aku pengenya kamu yang nembak aku Dar. Dari dulu, dari pertama kali kita jalan, di tempat ini.”
“Maaf ya.” Hanya kata tersebut yang bisa aku sampaikan kepada Winda. Entah kenapa semua argumen yang telah kususun seketika ambruk setelah melihat, mendengar dan mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya kita sama-sama suka. Tapi aku sudah harus siap dengan resiko ini seperti yang telah diperhitungkan jauh-jauh hari. Lalu aku mengakhiri tangsi Winda dan suasana suram tersebut dengan memberinya alasan yang cukup baik yang memungkinkan Winda untuk menerima Ardi.
“Aku yakin Win, dia bisa wujudin impian kamu.” Mendengar kalimat tersebut tangis Winda pun perlahan berhenti. Lalu aku menatap matanya dan menegaskan kembali.
“Aku yakin dia orang yang tepat buat kamu.” Lalu aku pun memeluknya lagi, kali ini lebih erat seakan aku tidak akan pernah bertemu dia lagi. Dalam peluk tersebut aku membisikkan sesuatu kepada Winda “Mungkin dia suka ceker juga jadi, kalian bisa makan ceker sepuasnya bareng.” Ucapku yang kemudian disusul dengan cubitan Winda ke perut ku.
“Dasar orang aneh” ucap Winda. Dan kata tersebut turut mengakhiri pertemuan kita pada saat itu. Kemudian aku mengantarkan Winda pulang ke kostanya mungkin untuk yang terakhir kali. Sesampainya di kostan Winda memelukku dan berkata.
“Terima kasih ya Dar, terima kasih buat semuanya.”
“Ya, terima kasih juga Win.”
Lalu kami pun berpisah, aku pulang ke kostan, merebahkan badan dan perlahan air mata jatuh dan akupun menangis.
#
Setelah kejadian itu, hari-hari berjalan seperti biasa, yang berbeda hanyalah aku dan Winda yang kini semakin jarang berkomunikasi. Tapi kami tetap berteman, begitupun dengan Ardi. Kulihat di beranda Instagram Winda memosting foto dengan Ardi, menandakan bahwa Winda akhirnya benar-benar menerima Ardi.
Seperti biasa aku menjalani keseharinaku hingga lulus kuliah. Setelah lulus Winda fokus menjadi guru dan Ardi lanjut kuliah ke luar negeri. Setelah lulus S2 Ardi bekerja di sana, pulang ke Indonesia untuk melamar Winda dan mengajaknya hidup di luar negeri tentu Winda menerimanya karena sesuai dengan mimpinya dari dulu. Aku hadir ke acara pernikahanya dan pertemuan itu adalah benar-benar pertemuan terakhirku dengan Winda. Setelah menikah mereka pun berangkat ke Eropa dan kemudian tinggal di sana.
Sementara aku lulus kuliah menjadi wartawan, meliput berita di berbagai tempat hingga menjadi bagian dari National Geographic Indonesia.