Sayangnya Hidup Tak Bisa Di-Reset
Ada kalanya aku merasa seperti sedang berdiri di persimpangan jalan yang berkabut. Dua jalan terbentang di depanku, dan aku hanya punya satu kehidupan untuk memilih. Satu jalan mengarah pada mimpi menjadi guru, sederhana, penuh makna, tapi dibayangi rasa minder. Kampusku tak dikenal di kota ini, Bogor. Pengalamanku mengajar tak seberapa jika dibandingkan dengan mereka yang punya gelar dari kampus ternama. Tapi aku tahu, mengajar adalah tentang hati yang tulus berbagi.
Jalan lain mengajakku kembali ke dunia kreatif, fotografi, videografi, bercerita lewat gambar dan suara. Sebuah dunia yang pernah memberiku kegembiraan, namun juga rasa lelah yang dalam. Pernah suatu waktu, aku merasa hancur, terbakar dalam tekanan dan harapan yang tak selalu bisa kutebus. Tapi kreativitas itu seperti api kecil di dadaku, sulit padam meski ditiup angin ketakutan.
Aku memilih berkarier di Bogor, kotaku sendiri, karena semakin hari aku semakin merasa tak bisa meninggalkan keluargaku. Mereka adalah alasan mengapa aku memilih tetap tinggal dan mencari pekerjaan di sini. Kecuali suatu hari ada pekerjaan dengan bayaran luar biasa yang mungkin bisa kupertimbangkan, aku lebih memilih berada dekat dengan mereka.
Aku ingin memilih keduanya, menjadi guru yang bisa berbagi ilmu dan nilai, sambil tetap menciptakan kisah lewat lensa dan pena. Aku ingin pergi, menjelajah, bercerita lewat video solo traveling. Tapi kenyataan berbicara, semua butuh modal yang besar, sementara penghasilanku masih kecil. Aku merasa seperti berenang di lautan mimpi, tapi tak punya cukup pelampung untuk terus mengapung.
Terkadang aku berharap bisa memutar waktu, kembali ke masa lalu, memperbaiki setiap keputusan yang terasa salah. Tapi hidup tidak pernah memberi kita tombol reset. Kita hanya bisa maju, melangkah dengan luka yang perlahan sembuh dan harapan yang terus tumbuh.
Namun di antara rasa takut dan kebingungan, ada sesuatu yang masih berdenyut, keinginan untuk terus berjuang. Mungkin aku tak perlu memilih satu jalan. Mungkin aku hanya perlu belajar menari di antara keduanya, menjadi guru yang mengajar dengan cerita, dan seorang kreator yang mengisahkan perjalanannya dengan hati.
Hidupku mungkin bukan tentang satu pilihan yang sempurna, tapi tentang keberanian mencoba menjalani keduanya tanpa kehilangan diri sendiri.